Selasa, 13 Oktober 2015

menggenggam kenangan



                                                Nama   : Enggar Ikhtianti P
                                                Kelas   : 1 C   
                                                Nim     : 1410139

                        Mengancam Kenangan
Di suatu pagi yang terlihat gelap . Matahari malu-malu untuk mengucapkan selamat pagi. Tangan setengah tua menggenggam gagang sapu dan tak sama sekali terlihat gemetar untuk menyapu  teras rumahnya. selamat pagi pada Nyonya , tapi ia asik dengan kegiatannya menyapu, Nyonya meluangkan waktu di pagi hari hanya untuk menyapu. Pgi bertanya kepada nyonya “ tidakkah kau lelah harus selalu menyapu setiap pagi dan besok pagi sudah kotor lagi” nyonya menjawab ”Ini bukan tentang lelah atau bosan. Bagaimana aku menyapu teras ini adalah bagaimana lapangnya dadaku”, Setelah selesai di terasnya, ia segera masuk rumah. Tidak untuk beristirahat, tapi untuk menyampaikan ucapan selamat pagi pada pigura yang berjajar di ruang tamu. Nyonya mengusap pigura satu-persatu. Di setiap usapannya tangan nyonya di seluruh sisi pigura satu-satunya yang hafal pada kebiasaan nyonya ini adalah debu-debu yang menempel di sana, juga debu yang berdiam di sudut ruang tamu, mengapa nyonya selalu mengusap debu di pigura yang tak bisa bicara  itu ?? Nyonya tidak ingin di dengarkan, dan tidak ada yang perlu diperdengarkan. Apa lagi yang harus diceritakan  jika seisi rumah ini pun sudah tahu ceritanya, Namun, rupanya Nyonya lebih suka mengusap pigura daripada mendengarkan lagi cerita yang berulang dari debu. Kami tahu bagaimana kau bercerita pada pagi yang selalu membawa ia hadir lagi dalam pelukanmu, Nyonya. Kami tahu betapa kau membenci pagi yang selalu datang bersama kenangan. Karena ketika pagi tiba, menandakan kau harus memulai hari untuk berdamai lagi dengan kenanganmu “Aku dan kenangan tidak pernah bermusuhan, jadi aku tidak pernah berdamai juga”
Nyonya lebih suka mengusap pigura daripada mendengarkan lagi cerita yang berulang dari debu. Nyonya berkata “aku tidak sedang mencoba berdamai dengan apa dan siapapun karena aku tidak pernah bertengkar. Bukankah tidak perlu juga aku ceritakan tentang malam-malam yang tidak mau datang lagi karena terlalu takut padaku. Kita kan juga tidak sedang bertengkar, maka tidak perlulah berdamai.” kenangan itu merupakan tiga pigura di ruang tamunya yang selalu ia ganggu ketika pagi tiba sampai siang terik datang. Atau mungkin dalam pigura itulah sesungguhnya kenangan.
Tapi yang seisi rumah tahu  kenangan Nyonya adalah sebuah pelukan terakhir dan telapak kaki di teras. Suara-suara berdebum yang merebut pelukannya dan kerikil tajam yang melukai, di lain waktu, Nyonya menemukan bayangan terhempas di terasnya bersama daun-daun gugur, Nyonya tidak pernah mengijinkan siapapun untuk menggeser pigura itu, ” Biarkanlah ia tetap pada tempatnya. Tidak pernah ia coba mengusik dan memusuhiku”, Nyonya terjebak pada pelukannya di teras rumah. Memeluk dirinya sendiri erat-erat
Biarkan saja rindu ini menggunung, lalu kau dapat mendakinya hingga awan dan meretaskan hujan keresahan.”
Kemudian Ia teringat tubuh wanita yang tenggelam penuh ke dalam air, begitu bening hingga Ia bisa melihat jelas setiap lekuk tubuh wanita itu, di hari-hari lain ketika wanita itu tidak ada di dalam bak mandi, Ia hanya akan melangkah ke dalam sana dan merasakan air menenggelamkan seluruh tubuhnya sendiri Wanita itu selalu bertanya seperti ingin tahu. Mungkin bagi wanita itu, pertanyaan adalah segalanya yang bisa meredakan remuk redam Namun, wanita itu sungguh tidak pernah alasan Ia mencari sedangkan Ia selalu kehilangan tubuh sang wanita wajah wanita itu berkerut wanita itu bertanya-tanya apa yang Ia lakukan di hadapannya.
            Nyonya tidak bisa memilih akan menangis sedih atau bahagia. Sedih karena kenangannya seketika seperti menepi. Bahagia karena kenangannya ada di depan mata.
Anak lelaki yang Nyonya ceritakan pada dinding-dinding dan debu yang berpendar di lampu kamarnya menjejakkan kaki di teras rumah, di dalam cerita ini, lelaki ditindas wanita,wanita juga ditindas oleh laki-laki. Secara menyeluruh perempuan adalah yang berkuasa tetapi juga perempuan adalah korban. Derita laki-laki dan derita wanita semuanya sama. Jangan jadikan kenangan yang pahit itu sebagai ancaman. Tak semua yang pahit itu buruk . Dan yang buruk itu bukan untuk diingat-ingat tapi untuk dijadikan ajaran hidup di masa yang akan datang.
*teater ini di sutradarai Ibrahim Bra
Aktris : Elina Azahra, Imam Mahfudz,Diajeng Roro, Iruka Daniswara, Reza Akbar






           




           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INOVASI OLAHAN JAMUR BERGEDEL JAMUR DAN NUGGET JAMUR

RESEP   BERJEMUR (bergedel jamur)   Bahan : ·          1 kg jamur segar ·          4 siung bawang putih ·          5 siung...