Nama : Enggar Ikhtianti P
Kelas : 1 C
Nim
: 1410139
Mengancam Kenangan
Di suatu pagi
yang terlihat gelap . Matahari malu-malu untuk mengucapkan selamat pagi. Tangan
setengah tua menggenggam gagang sapu dan tak sama sekali terlihat gemetar untuk
menyapu teras rumahnya. selamat pagi
pada Nyonya , tapi ia asik dengan kegiatannya menyapu, Nyonya meluangkan waktu
di pagi hari hanya untuk menyapu. Pgi bertanya kepada nyonya “ tidakkah kau
lelah harus selalu menyapu setiap pagi dan besok pagi sudah kotor lagi” nyonya menjawab ”Ini bukan tentang lelah
atau bosan. Bagaimana aku menyapu teras ini adalah bagaimana lapangnya dadaku”,
Setelah selesai di terasnya, ia segera masuk rumah. Tidak untuk
beristirahat, tapi untuk menyampaikan ucapan selamat pagi pada pigura yang
berjajar di ruang tamu. Nyonya mengusap pigura satu-persatu. Di setiap
usapannya tangan nyonya di seluruh sisi pigura satu-satunya yang hafal pada
kebiasaan nyonya ini adalah debu-debu yang menempel di sana, juga debu yang
berdiam di sudut ruang tamu, mengapa nyonya selalu mengusap debu di pigura yang
tak bisa bicara itu ?? Nyonya tidak
ingin di dengarkan, dan tidak ada yang perlu diperdengarkan. Apa lagi yang
harus diceritakan jika seisi rumah ini
pun sudah tahu ceritanya, Namun, rupanya Nyonya lebih suka mengusap pigura
daripada mendengarkan lagi cerita yang berulang dari debu. Kami tahu
bagaimana kau bercerita pada pagi yang selalu membawa ia hadir lagi dalam
pelukanmu, Nyonya. Kami tahu betapa kau membenci pagi yang selalu datang
bersama kenangan. Karena ketika pagi tiba, menandakan kau harus memulai hari
untuk berdamai lagi dengan kenanganmu “Aku dan kenangan tidak pernah
bermusuhan, jadi aku tidak pernah berdamai juga”
Nyonya lebih
suka mengusap pigura daripada mendengarkan lagi cerita yang berulang dari debu.
Nyonya berkata “aku tidak sedang mencoba berdamai dengan apa dan siapapun
karena aku tidak pernah bertengkar. Bukankah tidak perlu juga aku ceritakan
tentang malam-malam yang tidak mau datang lagi karena terlalu takut padaku.
Kita kan juga tidak sedang bertengkar, maka tidak perlulah berdamai.” kenangan
itu merupakan tiga pigura di ruang tamunya yang selalu ia ganggu ketika pagi
tiba sampai siang terik datang. Atau mungkin dalam pigura itulah sesungguhnya
kenangan.
Tapi yang seisi
rumah tahu kenangan Nyonya adalah sebuah
pelukan terakhir dan telapak kaki di teras. Suara-suara berdebum yang merebut
pelukannya dan kerikil tajam yang melukai, di lain waktu, Nyonya menemukan
bayangan terhempas di terasnya bersama daun-daun gugur, Nyonya tidak pernah
mengijinkan siapapun untuk menggeser pigura itu, ” Biarkanlah ia tetap pada
tempatnya. Tidak pernah ia coba mengusik dan memusuhiku”, Nyonya terjebak
pada pelukannya di teras rumah. Memeluk dirinya sendiri erat-erat
“Biarkan saja
rindu ini menggunung, lalu kau dapat mendakinya hingga awan dan meretaskan
hujan keresahan.”
Kemudian Ia
teringat tubuh wanita yang tenggelam penuh ke dalam air, begitu bening hingga
Ia bisa melihat jelas setiap lekuk tubuh wanita itu, di hari-hari lain ketika
wanita itu tidak ada di dalam bak mandi, Ia hanya akan melangkah ke dalam sana
dan merasakan air menenggelamkan seluruh tubuhnya sendiri Wanita itu selalu
bertanya seperti ingin tahu. Mungkin bagi wanita itu, pertanyaan adalah
segalanya yang bisa meredakan remuk redam Namun, wanita itu sungguh tidak
pernah alasan Ia mencari sedangkan Ia selalu kehilangan tubuh sang wanita wajah
wanita itu berkerut wanita itu bertanya-tanya apa yang Ia lakukan di
hadapannya.
Nyonya tidak bisa memilih akan
menangis sedih atau bahagia. Sedih karena kenangannya seketika seperti menepi.
Bahagia karena kenangannya ada di depan mata.
Anak
lelaki yang Nyonya ceritakan pada dinding-dinding dan debu yang berpendar di
lampu kamarnya menjejakkan kaki di teras rumah, di dalam cerita ini, lelaki
ditindas wanita,wanita juga ditindas oleh laki-laki. Secara menyeluruh perempuan
adalah yang berkuasa tetapi juga perempuan adalah korban. Derita laki-laki dan
derita wanita semuanya sama. Jangan jadikan kenangan yang pahit itu sebagai
ancaman. Tak semua yang pahit itu buruk . Dan yang buruk itu bukan untuk
diingat-ingat tapi untuk dijadikan ajaran hidup di masa yang akan datang.
*teater ini di
sutradarai Ibrahim Bra
Aktris : Elina
Azahra, Imam Mahfudz,Diajeng Roro, Iruka Daniswara, Reza Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar